HIKAYAT SI MISKIN
Alkisah
maka tersebutlah perkataan Mara Karmah berjalan dua bersaudara itu, maka tuan
Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu, maka Mara Karmah pun
menangis seraya berkata, “Diamlah adinda jangan menangis, karena kita orang
celaka, di manakah kita boleh mendapat susu, lagi kita sudah dibuangkan orang.”
Maka diberinyalah kepada adiknya ketupat itu sebelah, maka dimakannyalah. Maka
ía pun diamlah. Maka sampai tujuh hari tujuh malam Ia berjalan itu, maka
ketupat yang tujuh biji itu habislah dimakan oleh tuan Puteri Nila Kesuma itu,
karena diberikannya kepada adiknya pagi sebelah, dan petang sebelah. Setelah
habis ketupat itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak
makan. Maka diambil oleh Mara Karmah segala tarik kayu dan umbut-umbut dan
buah-buahan kayu yang di dalam hutan itu yang patut dimakannya, maka
diberikannya kepada saudaranya itu. Dan barang di mana ia bertemu dengan air,
maka dimandikannyalah akan saudaranya.
Syahdan
beberapa lamanya, ía berjalan itu, maka beberapa bertemu dengan gunung yang
tinggi-tinggi dan padang-padang yang luas-luas, dan tasik yang berombak seperti
lain, tempat segala dewa—dewa, peri mambang indera candara jin. Maka raja-raja
jin di sanalah tempat bermain lancang, berlomba-lomba. Di sanalah ia banyak
beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu, diangkat saudara oleh
mereka itu sekalian akan dia dan beberapa ia bertemu dengan binatang yang
buas-buas, seperti ular naga buta raksasa. Sekaliannya mereka itu memberi kesaktian
kepada Mara Karmah.
Syahdan,
beberapa ia melihat kekayaan Allah Subhanahu wa Ta’aIa berbagai-bagai dan
ajaib-ajaib. Maka bertemulah ia dengan bukit berjentera, tempat segala
raja-raja, dewa bertapa itu di sanalah tempatnya. Adapun Mara Karmah itu apabila
ia bertemu dengan segala raja-raja itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun
disembunyikannyalah. Dan jikalau ia bertemu dengan segala binatang yang
buas-buas, maka didukungnyalah akan saudaranya itu, tiada diberinya lepas dari
tubuhnya.
Hatta,
dengan demikian, maka ia pun sampailah kepada sepohon kayu beringin, terlalu
amat besar, dan adalah air turun dari atas gunung itu. Maka di sanalah ia
berhenti dan memandikan saudaranya. Maka tiba-tiba, melayanglah seekor burung
dari atas kepalanya, maka tuan Puteri Nila Kesuma pun menangis, minta
ditangkapkan burung yang terbang itu. Maka Mara Karmah pun melompat, lalu
disambarnya burung itu, dapat ditangkapnya, lalu diberikannya kepada
saudaranya. Maka sukalah hati saudaranya itu sambil katanya, “Bakarlah kakanda
burung ini kita makan!” Maka kata Mara Karmah, “Sabarlah dahulu tuan!” Maka
kedengaranlah bunyi ayam berkokok sayup-sayup, karena hutan itu dekat dengan
dusun orang negeri Palinggam Cahaya. Maka kata Mara Karmah kepada saudaranya
itu, “Tinggallah tuan di sini dahulu, biarlah kakanda pergi mencari api akan
membakar burung adinda itu” Maka sahut Puteri itu, “Baiklah kakanda pergi,
jangan lama-lama kakanda pergi itu.” Maka dipeluk dan diciumnya akan saudaranya
itu seraya katanya, “Janganlah tuan berjalan-jalan ke sana sini sepeninggal
kakanda ini, kalau-kalau tuan sesat kelak tiada bertemu dengan kakanda lagi”
Maka sahutnya, “Tiada hamba pergi kakanda.” Mara Karmah pun berjalan menuju
bunyi ayam berkokok itu, tetapi hati Mara Karmah itu tiada sedap berdebar—debar
rasanya, setelah sampai ia kepada dusun orang itu. Maka dilihatnya kebun orang
dusun itu terlalu banyak jadi tanam-tanaman, seperti ubi keladi, dan tebu,
pisang, kacang, dan jagung. Maka ia pun berjalanlah berkeliling pagarnya itu
menanti orang yang empunya kebun itu. Ia hendak meminta api. Setelah dilihat
oleh orang yang empunya kebun itu, maka katanya, “Anak si pencuri, demikianlah
sehari-hari perbuatanmu mencuri segala tanam-tanamanku ini sehingga habislah
jagung pisangku tiada berketahuan. Engkaulah yang mencuri. Maka sekarang hendak
ke mana engkau melarikan nyawamu itu daripada tanganku sekarang; sedanglah
lamanya aku menantikan engkau tiada juga dapat; baharulah sekarang aku bertemu
dengan engkau.” Maka ia berkata-kata itu sambil berlari menangkap tangan Mara
Karmah itu. Maka kata Mara Karmah, “Tiada aku lari, karena aku tiada berdosa
kepadamu; bukan aku orang pencuri, aku ini orang sesat, datangku ini dari
negeri asing hendak meminta api kepadamu.” Maka ditamparinyalah dan digocohnya
akan Mara Kanmah itu seraya katanya, “Bohonglah engkau ini!” Maka kemala yang
digendong oleh Mara Karmah yang diberi oleh bundanya itu pun jatuhlah dari
punggungnya. Setelah dilihat oleh orang dusun itu, maka diambilnyalah, seraya
katanya, inilah kemalaku engkau curi.’ Maka kata Mara Karmah itu, “Nyatalah
engkau ini berbuat aniaya kepadaku” Maka ia pun terkenanglah akan saudaranya
yang ditinggal di dalam hutan seorang dirinya itu, Maka katanya dalam hatinya,
“Wahai adinda tuan, betapa gerangan hal tuan sepeninggal kakanda ini kelak,
karena dianiaya oleh orang, matilah kakanda tiada bertemu dengan tuan lagi.
”Maka ia pun menangis terlalu sangat, lalu rebah pingsan tiada khabarkan
dirinya. Maka kata orang dusun itu, “Apa yang engkau tangiskan, sebab salahmu;
itulah balasnya engkau makan jagungku” Maka dilihatnya segala tubuh Mara Karmah
itu habis bengkak-bengkak dan berlumur dengan darah, dan tiada ia bergerak
lagi. Maka pada sangka orang dusun itu, sudahlah mati rupanya, maka
diikatnyalah dengan tali dari bahunya sampai kepada kakinya, seperti orang
mengikat lepat, demikianlah lakunya ia mengikat Mara Karmah itu. Setelah sudah
diikatnya, maka diseretnyalah, dibawanya ke tepi taut, lalu dibuangkannya ke
dalam laut itu. Maka ia pun kembalilah ke rumahnya.
No comments:
Post a Comment