IMPIANKU
TELAH DI UJUNG JALAN
KARYA YOSI
ROSITA
Pagi ini
terdengar jelas sekali ditelingaku suara kokokan ayam dan kicauan burung
memaksaku untuk bangun. Mereka seperti tidak rela hari minggu ini ku habiskan
untuk bermala-malas rasanya mata pun masih lengket terpejam. Disisi lain ku dengar langkah kaki mendekat
ke arah kamarku dan seseorang mendorong pintu.
"Paling
mamah. " kataku dalam hati
Tetapi tidak ada hasrat untukku bangun
bahkan tidak ku hiraukan suara-suara itu. Kulanjutkan tidurku apalagi dengan
udara dingin yang merasuki diri, itu adalah alasan yang cocok untuk tidur
kembali diatas kasur kecil penuh dengan pulau impian yang selalu ku buat setiap
malam.
"Teh...
teh.. teteh... heh bangun bangun, ini hari minggu bantu mamah beres-beres.
" ujar mamah sambil menggebrak kasur
"Masih
ngantuk maaah... bentar lagi ya?" pintaku
"Gak
bisa... sok bangun, bantu mamah!"
Kupaksakan untuk
bangun dari tempat tidur bergegas mencuci muka dan membantu mamah.
Beginilah hidupku, namaku Dinda
aku bersekolah di SMA Negeri di daerah Kuningan. Aku terlahir dari keluarga
yang sangat sederhana tetapi sangat bahagia. Bapakku seorang buruh bangunan
kerjanya sehari-hari hanya membuat batako di pabrik sekitar rumah walau begitu
ia seorang pekerja keras, menurutnya hidup harus memiliki prinsip, prinsipnya
adalah bekerja keras bisa membuahkan bahagia yang nyata. Mamahku seorang ibu
rumah tangga yang sangat hebat, Penyayang, dan ia adalah wanita yang paling
kuat karenanya aku dan adikku bisa ada di dunia ini tumbuh dengan penuh Kasih
sayang. Si kecil Cira, adikku tersayang umurnya 8 tahun ia bersekolah disalah
satu Sekolah Dasar Negeri.
Setelah lelah ku bantu mamah. Aku
ingat hari ini sebuah koran yang memuat karya tulis anak bangsa terbit, ku tunggu tukang koran mingguan yang sering
lewat depan rumah dengan harapan semoga puisi karyaku bisa dimuat aku sudah tak
sabar.
"Duuuh...
kok tukang korannya gak muncul-muncul. " kataku mulai penasaran
jelas mataku melihat di seberang jalan sana,
seseorang mengayuh sepedah sdengan tas selendangnya ia menuju ke arah rumahku
ternyata ia adalah tukang koran.
"Pucuk
dicinta ulampun tiba, eh... " kataku dalam hati
"Mang...
mang... ada koran yang terbit gak mang?" tanyaku
"Ada neng,
bentar... nih neng koran terbaru. Baru saja terbit semenit yang lalu.
"Tukang koran ketawa cekikikan
"Waduuuh...
si mang bisa aja, semenit yang lalu mah si mang di seberang sana. " ucapku
sambil ketawa
Langsung ku buka koran itu, ku lihat satu
persatu halamannya seketika itu rasa penasaranku terjawab sudah, halaaah..
Karyaku belum dimuat pikirku, kerja kerasku waktu yang aku korbankan apakah
belum? Selalu ini pertanyaan yang terlintas dipikiranku.
"Kenapa
teh? Kok lesu gitu? " tanya mamah.
"Gak
mah, teteh cuma kepikiran puisi-puisi
teteh gak ada satupun yang dimuat. " jawabku dengan perasaan kecewa
"Teh...
semua kan butuh proses dan siapa tau puisi teteh juga dimuat, ada saatnya kok
sayang. "
"Apa ada
proses yang kurang ya mah dalam pembuatannya? " tanyaku
"Mungkin
teteh saat ini tinggal banyak berdo'a dan sabar. " jawab mamah sambil tersenyum
Keesokan paginya di sekolah, ku temui dalam
mading kelas ada pamflet tentang perlombaan dengan nama "Yang Muda Yang
Berkarya" banyak perlombaan termasuk cipta dan baca puisi setelah itu ku
baca lebih lanjut sepertinya lomba ini
diikuti banyak siswa se-jawa barat pelaksanaannya saja melibatkan banyak
pihak, yang membuatku ragu adalah lomba
itu bertempat di Bandung. Aku hanya takut orang tuaku tidak mengizinkan.
Perasaanku campur aduk belajar menjadi tidak fokus, hmm... info lomba tadi
berhasil mengganggu pikiranku enyahlah kau, pikirku. Ditambah lagi rasa malu
ketika aku dipanggil guru karena terus melamun tak memperhatikan pelajaran,
teman-temanku langsung menyorotiku dengan ppandangan sinis seperti akan
menggerogoti otakku, hmm.. menyeramkan
pikirku.
Bel pulang sekolah yang banyak ditunggu siswa akhirnya berbunyi
menandakan akhir pembelajaran hari ini,
segera aku pulang kerumah tak sabar ingin membicarakan info lomba tadi
dengan orang tuaku, setidaknya perlombaan ini bisa mengobati kekecewaan tentang
puisiku yang belum juga dimuat.
"Assalamualaikum... mah pak. " sapaku
"Waalaikumsalam... " jawab mamah dan bapak bersamaan
"Mah pak.. teteh pengen
bicara soal hobi nih! "
"Bicara aja sayang... " ujar bapak
"Teteh kan suka puisi, dan 2 minggu lagi akan ada perlombaan, boleh
teteh ikut?" tanya aku sambil memohon
"Waaah... itu kesempatan
bagus teh, boleh asal jangan lupa
belajar! " ujar bapak
"Tapi paaak... lombanya di Bandung. " ujarku sedikit mengeluh
"jauh nak... Bapak terlalu cemas. " kata bapak dengan wajahnya
yang lelah
"Sudah teh, Kasih bapak waktu untuk istirahat, ceritanya besok lagi
nak! " ujar mamah
Ada hal yang aneh, bapak seperti
sedang memikirkan sesuatu atau mungkin karena lelah bekerja.
Malam hari ketika sedang berkumpul di ruang tv aku mulai membuka
obrolan.
"Mah... bapak kenapa sih? Teteh lihat kayak ada masalah."
tanyaku penasaran
"bapak sedang pusing, dia diberhentikan sementara kerjanya karena
stok batako masih penuh jadi bapak akan masuk nanti setelah semua stok mulai
laku. "
Aku tau sekarang pasti bapak sangat terpukul kehilangan pekerjaan untuk
sementara.
"Bapak maaf teteh gak tau. "
"Gak apa-apa sayang... Jangan pikirkan bapak, kalian belajar yang
rajin capai cita-cita kalian agar kalian bisa hidup lebih baik dari mamah dan
bapak."
Dalam keadaan seperti ini bapak masih selalu memberi nasihat senyumnya
tak pernah terhapus rasa cape ataupun pusing. Setelah mengetahui semua itu
harapanku sedikit aku urungkan, harapanku masih tersimpan pada koran mingguan
bahkan mungkin harapan itu hampir membusuk.
Setelah hari demi hari kutuliskan kekecewaanku dalam buku diaryku, aku
hampir lupa sekarang adalah hari minggu,
harapan semu puisiku akan dimuat dan satu minggu menuju lomba yang aku
impikan. Ku sempatkan tanganku untuk membuka pintu rumah dan melangkahkan
kakiku keluar rumah untuk sekedar menunggu koran yang mengumbar harapan palsu.
Dari kejauhan tukang koran melambai memberi tanda bahwa ada koran terbaru dan
berhenti di depan rumahku.
"Neng, ini seperti biasa korannya" ujarnya sambil memberi
koran
"Makasih mang! ini uangnya. " kataku
Aku berlari masuk ke rumah dan segera membuka koran itu, tak ku lihat
puisi ciptaanku yang ku lihat hanya tulisan permohonan maaf "kami segenap
penyusun Koranku memohon maaf apabila apabila karya-karya pembaca ada yang
belum dimuat, kami hanya akan memuat sebagian, terimakasih. "
Kekecewaanku minggu kemarin seperti bersambung dan ini lanjutannya lebih
menyakitkan.
"Dengan alasan apa koran itu tak bisa memuat lagi? gak menghargai
banget. " gerutuku sangat kesal
"Heh... teteh kenapa?"
tanya mamah
Aku langsung menghampiri mamah dan memeluknya.
"Mamah... teteh sedih puisi teteh gak bisa di muat. "
"Sabar ya sayang, masih ada
kesempatan lain." ujar mamah
Dari hari itu rasa sedih selalu melengkapi hidupku, kesal menanti
sesuatu dan hasilnya tak bersambutan. Untuk sekedar makan menyuapkan nasi satu
biji pun aku tak napsu dari kemarin aku hanya banyak minum. Selama tiga hari
aku sakit gara-gara koran itu, hanya bisa tertidur untung tulangku masih
terhalang daging setidaknya ketika orang melihatku mereka tidak berkata bahwa
aku kurang gizi. Meski mamah selalu menyediakan makanan tapi tak pernah aku
merasa lapar aku sudah kenyang dengan janji-janji koran itu, mamah dan bapak seperti cemas dengan
keadaanku yang belum makan dan tak pernah keluar kamar, aku hanya bisa merenung
meratapi nasibku.
"Teteh jangan begini terus dong sayang, ayo makan nak! Kesehatan kamu yang paling
penting." kata mamah
"Gimana kalau bapak Kasih izin kamu untuk ikut lomba di Bandung
nanti hari minggu tapi kamu harus sembuh dulu ya, nak?” ujar bapak
“hah…
bener nih pak?” tanyaku
“benar
sayang, mamah juga setuju.” Kata mamah
“makasih
ya mah pak?”
“sama-sama
sayang.” Jawab mamah dan bapak bersamaan
Tiga
hari aku sakit ternyata ada hikmahnya aku diizinkan mengikuti lomba di Bandung.
Hari rabu ini, ku nobatkan sebagai hari bangkitnya aku dari keterpurukan habis
gelap terbitlah terang seperti raden ajeng kartini, aku juga punya cita-cita
yang mulia, bukan hanya orang kaya saja bahkan kebanyakan orang sukses karena
kerja keras dan do’a aku yakin itu, pikirku.
Hari
kamis aku mulai bersekolah bersama senyuman bahagia menebar tawa bersama
teman-teman sepertinya teman-temanku sangat merindukanku mereka langsung
menanyakan kabarku, saat ada waktu luang di kelas aku memilih untuk menulis
puisi siapa kira dimasa depan aku bisa jadi sastrawan atau lainnya yang
berhubungan dengan itu. Ada harapan dalam rencanaku kali ini semoga Allah
memberikan jalan yang terbaik aku hanya ingin menyalurkan hobiku aku tidak
ingin puisiku ini menjadi puisi kamar, yang mengetahui hanya aku saja. Bahkan
teman-teman dan guruku pun mendukung aku disetiap karya-karyaku bimbingan dari
mereka kritik dan saran dari mereka tak jauh hanya untuk membuat karyaku
menjadi lebih baik, apalagi ketika mereka mendengar aku akan mengikuti lomba
ini, jujur aku sangat bahagia berada di tengah orang-orang yang hebat.
Pembelajaran hari ini sungguh menyenangkan, tetapi cepat berakhir aku langsung
bergegas pulang menunggu jemputan bapak di depan sekolah.
“bapak,
jemput aku ya? Di depan sekolah tempat seperti biasa aku menunggu setelah
pulang sekolah.” Sore itu aku resah melihat langit berubah warna, kecerahan
ditiup oleh awan hitam pekat sangat menakutkan, aku yang sejak tadi menunggu
seorang diri tersentak teringat buku dalam tasku yang dalamnya berisi
puisi-puisiku, duuuh… bukuku kataku dalam hati. Segera ku sembunyikan tasku
dibalik kerudung dank u peluk erat agar tak basah, sesekali kulihat jam
tanganku, bapak lama sekali pikirku, sudah sangat sore pikiranku sangat gelisah
sambil k uterus melihat di ujung jalan sana tak ada seorangpun yang lewat.
Hujan
mulai deras namun ayah sudah mulai terlihat dengan sepeda motornya yang
perlahan melaju kearahku.
“tit…tit..tit…ayo
naik, nak!” ajak bapak
Langsung
ku naik motor dengan perasaan kesal karena bapak membuatku menunggu lama sekali
membuatku basah kuyup, aku hanya takut puisiku luntur terguyur hujan.
Sesampainya
di rumah, aku langsung merapihkan bukuku dan penampilanku yang berantakan basah
kuyup.
“teh…makan
dulu,nak! Nanti kamu sakit lagi.” Ujar mamah
“iya
mah, sebentar lagi aku sedang membereskan puisiku untuk lomba nanti.”
“oh
iya teh, semangat ya? Lomba itu tinggal 2 hari lagi kan?.” Tanya mamah
“iya
mah do’akan ya mah?”
“pasti
sayang kamu selalu ada dalam do’a mamah”
“mamah
kalau cira ada di do’a mamah?” Tanya cira
“ada
atuh sayang, cira juga kan anak mamah kebahagiaan mamah. Orang tua pasti selalu
menginginkan yang terbaik untuk anaknya” jawab mamah sambil tersenyum
“mamah…
teteh mau ikut lomba apa sih?” Tanya cira
“mau
ikut lomba puisi di Bandung.”
“cira
juga mau, ada lomba mewarnai gak?”
“gak
ada cira lagian ini untuk siswa SMA, cirakan masih kecil nanti kalau cira udah
besar cira juga harus seperti teteh.”
“aku
mau jadi pewarna aaah…” kata cira
“gak
ada pewarna adanya juga pelukis, sayang… kamu ini lucu” jawabku sambil tertawa
“oh
gitu cira gak tau.”
Aku
tidak pernah kesepian, ada adikku cira yang bisa membuatku tersenyum dengan
tingkah lucunya, apalagi pipinya yang tembem membuatnya beda dengan yang lain,
setidaknya aku lebih merasa tenang agar dilomba nanti aku tidak terlalu grogi.
Bilang soal grogi semoga nanti disana saat interview aku bisa menjawab
pertanyaan dengan baik.
Setiap
saat aku selalu memanjatkan do’a, Alhamdulillah karena hal ini aku bisa lebih
mengerti arti beribadah. Aku sering mendengar bahwa Allah swt. Akan mendekati
hamba-Nya jika manusia melangkah satu kali pasti Allah akan melangkah mendekati
kita 10 kali. Aku selalu meminta kemudahan dalam perlombaan nanti.
“mah…
do’a itu ajaib ya mah?” tanyaku
“do’a
itu penyejuk hati dengan berdo’a seseorang diajarkan agar tidak sombong.”
“hmmm…
seperti itu.”
“
nanti kalau kamu mau lomba jangan lewatkan untuk berdo’a.” saran mamah
“iya
mah…pasti.” jawabku sambil tersenyum
Besok
adalah hari jum’at, memang waktu ketika ditunggu pasti akan terasa lama. Tapi
persiapan untuk lomba sudah matang, aku tinggal menunggu hari minggu.upss…aku
harus berangkat sekolah, pikirku.
“maaah…
pak… teteh berangkat ya?”
“iya
nak hati-hati.”
Setelah
memberi salam aku berangkat ke sekolah, aku berjalan menuju sekolah lumayan
jarak ke sekolah tidak terlalu jauh karena kondisiku sudah membaik dengan lega
mamah mengizinkanku berjalan kaki ke sekolah. Tak terasa sudah sampai di
sekolah, aku bertemu dengan teman-temanku kami bersama-sama memasuki kelas
dengan canda dan tawa. Pelajaran pertama sudah dimulai dan aku bisa focus
belajar karena sudah tidak ada kekhawatiran lagi tentang lomba. Pelajaran demi
pelajaran terasa cepat, kini sudah saatnya untuk pulang tapi sebelum pulang aku
ingin meminjam buku dari perpustakaan seperti biasa aku ingin meminjam buku
tentang puisi, untuk ku jadikan pembelajaran. Selain menulis aku juga punya
hobi membaca buku, aku yakin dengan buku bisa membuka masa depan yang cerah,
hehehe.. ujarku dalam hati.
“maaah…
assalamualaikum teteh pulang.”
“waalaikumsalam..
eh teteh cepet beres-beres terus makan sayang…”
“oke
maaah…” kataku
Setelah
aku makan ku lanjutkan aktivitasku untuk mengetik puisiku dan akan ku print
semoga juri suka terhadap puisiku. Besok sabtu aku akan berangkat ke
Bandung bersama bapak tak sabar rasanya
berangkat ke kota bandung selain untuk lomba aku berharap bisa melihat indahnya
kota bandung.
“teteh
cepet tidur nak! Besok kamu kan mau berangkat ke bandung.” Ujar mamah
“iya
maaah…” kataku
Bergegas
aku menuju tempat tidur mengukir mimpi indah di atas bantalku.
Malam berganti menjadi pagi, suara berisik
mamah yang sedang mempersiapkan kebutuhanku membangunkan aku dari tidurku.
huffft… untung tidak kesiangan, pikirku.
“teteh..
cepet siap-siap,nak!” ujar mamah
“iya
mah…”
“teteh
jangan lupa bawa peralatan tulisnya.”
“ya
maaah.”
Pagi
jam 9 ini aku dan bapak beres-beres dibantu mamah. Bisa dibilang sibuk bahkan
karena sibuk mamah lupa sama cira yang akan sekolah.
“mah
itu cira mamah lupa cira harus sekolah” kata bapak
“oh
iya pak… duuuh”
“teteh,
mah, pak… cira berangkat ya? Teteh jangan lupa bawa oleh-oleh ya?” kata cira
“iya
cira belajar yang pinter ya sayang, nanti teteh bawa oleh-oleh buat cira sama
mamah.”ujarku meyakinkan cira
Adikku
yang lucu sudah tumbuh dengan baik melihatnya aku ingat masa kecilku tak terasa
aku sudah sebesar ini aku akan selalu mengingat masa kecil dimana aku belum
merasa seribet ini tetapi menjadi orang dewasa juga menyenangkan dan itu semua bagaimana
kita menjalani semuanya, memang flashback itu hal yang menyenangkan bagi
sebagian orang termasuk diriku.
Hari
yang kunanti sudah tiba, saatnya aku berangkat setelah mempersiapkan semuanya
termasuk mental.tak lepas dari harapanku semoga perjalanan ini berbuah manis.
Terasa sedih memang akan meninggalkan mamah dan cira berdua saja di rumah
walaupun hanya sehari.
Ketika
menaiki bus berat rasanya tak bisa aku jauh dari mamah dan cira, ku lambaikan
tanganku pada mamah yang masih melihat kea rah bus. Dalam bus ku pilih tempat
duduk kedua, sedikit demi sedikit bus mulai melaju menurut bapak kita akan
sampai Bandung 6 jam kalau tidak macet, tapi kalau macet sekitar 7 jam.sengaja
bapak memilih hari rabu agar setelah nyampe disana aku masih mempunyai waktu istirahat.
Kebetulan di Bandung ada saudaraku tanpa harus khawatir aku dan bapak bisa
menginap disana untuk sementara waktu.
Diperjalanan
selain kendaraan yang macet dan orang yang berlalu lalang aku juga bisa lihat
sesekali hamparan sawah yang tumbuh subur mataku tak bisa ku alihkan dari
pemandangan ini, di samping kanan dan kiri tampak pohon-pohon tinggi dan
bunga-bunga juga tumbuh diantaranya bunga terompet yang mekar dengan elok.
Kebun teh hijau merata seperti ditata dengan rapih dan tak ada yang lebih mengkhawatirkan
adalah ku lihat bekas kebakaran hutan terlihat jelas dengan warna hitam entah
karena apa, menurutku ini semua berkaitan dengan bagaimana cara manusia dalam
bersyukur atas apa yg telah Allah ciptakan, mungkin bagi mereka yang berbuat
kerusakan belum mengerti manfaat hutan bagi kehidupan makhluk hidup.
“pak,
lihat itu! Bagus ya?” ujarku sambil menunjuk kearah bunga terompet
“iya
sayang…”
“istirahatlah,nak!
Akan bapak bangunkan kalau sudah sampai”
“iya
pak aku juga sudah ngantuk gak kerasa sudah
jam 2” jawabku
aku
beristirahat sementara bapak masih melihat jalan takut bus melewati tempat
tujuan.
“teh..teh…
bangun ini udah nyampe, ayo kita turun!” ajak bapak
“eh…
iya pak duuuh.” Jawabku kaget
Aku
dan bapak segera turun dari bus dan mencari alamat rumah saudaraku, setelah
bertanya kepada orang aku dan bapak tidak kunjung menemui alamatnya bahkan kami
merasa semakin jauh dari tempat kami turun tadi, sepertinya orang tdi sengaja
menunjukan alamat yang salah. Ku telepon saudaraku itu, dia bilang akan
menjemput dia hanya berpesan jangan kemana-mana dulu. Aku dan bapak mulai menunggu lama tak kunjung muncul.
Hmmm…dimana dia, gerutuku dalam hati. Ada seseorang yang menghampiri dan
ternyata dia adalah saudaraku, aku dan bapak langsung diajaknya untuk makan
terlebih dahulu setelah itu segera menuju ke rumah saudaraku untuk menginap
sekitar satu malam selama di Bandung. Perjalanan yang melelahkan, aku langsung
beristirahat setelah perjalanan yang cukup panjang tadi.
Kali
ini bukan suara kicauan burung tapi suara ramai kendaraan membangunkanku, aku
bergegas bersiap-siap untuk ke tempat perlombaan menurut saudaraku tempat itu
tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sekitar jam 7 pagi saat perjalanan menuju
tempat lomba terlihat embun tebal menyelimuti kota ini pohon-pohon dan
gedung-gedung tinggi terhalang kabut, ditambahkan lagi udara pagi yang sangat
dingin menyambut pagiku di Bandung.
“Alhamdulillah…
sampe teh.” Ucap bapak
“iya…
pak, ayo kita masuk ke gedungnya! Teteh akan mengambil nomer urut.”
Perlahan
tapi pasti dengan penuh percaya diri ku masuk ke gedung itu kulihat banyak
peserta berdatangan. Rasa grogi yang berhasil aku timbul muncul kembali setelah
melihat semua ini, aku harus yakin ini semata-mata untuk mengasah kemampuanku.
Setelah lama menunggu nomer urut akhirnya aku mendapatkannya aku dapat nomer
urut ke 27 dari 50 peserta interview cipta puisi.
“yang
tenang ya teh?” ujar bapak mencoba menenangkanku
“bismillah
teteh minta do’anya ya pak? Semoga lancar”
“aamiiin..
pasti teh.”
Beberapa
peserta telah melakukan interview sekarang adalah giliranku untuk masuk ke
ruangan interview pertanyaan seputar puisi yang aku ciptakan terus dilontarkan
walaupun sedikit grogi tetapi aku mulai bisa menenangkan diriku sendiri
sehingga aku bisa menjawab semua pertanyaan itu. Juri mempersilahkanku untuk
meninggalkan ruangan dan sepertinya mereka sedang mendiskusikan hasil
interviewku tadi, aku hanya bisa berdo’a semoga hasilnya bagus.
Jam
5 sore, pengumuman perlombaan mulai dibacakan aku mulai tak sabar mendengarnya sekaligus
penasaran siapa kira-kira yang akan mendapatkan juara. Pembacaan juara pertama
telah dibacakan ternyata bukan aku tetapi masih orang Bandungnya, aku jadi
lebih merasa deg-degan ketika pembacaan juara 2 dan ternyata bukan namaku yang
pembawa acara sebut, dari situ aku mulai merasa pesimis.
“pak..
mending kita pulang saja yu!”ajakku
“jangan
pesimis gitu the gak baik, sebentar ini penyebutan juara 3” kata bapak
“oke…”
jawabku cemberut
Dan
taraaa… dalam hatiku berucap, pasti bukan aku. Juara ke tiga adalah pemenang
berasal dari kuningan kata pembawa acara tapi aku takut itu bukan aku mungkin
ada orang kuningan yang mengikuti lomba ini selain aku, dan setelah pembawa
acara menyebutkan namaku sebagai pemenangnya aku merasa kaget rasanya tidak
sadarkan diri. Sujud syukur ku panjatkan kepada Allah swt. dan terimakasih atas
dukungan keluarga, teman-teman, dan guruku di sekolah.
“pak..
terimakasih atas dukungannya aku bisa menjadi juara.” Ujarku terharu
“sama-sama,
kamu hebat,nak!” ujar bapak
Karunia
Allah swt. Memang indah. Aku dan bapak sore itu pulang kembali ke kuningan aku
persembahkan kemenangan ini untuk mamahku tersayang dan cira adikku yang lucu,
seperti lengkap perjalananku ke bandung mendapat pengalaman yang tak terlupakan
dan dapat melihat keindahan alam yang memanjakan mata.
Aku
yakin ini semua jawaban dari do’aku selama ini, Allah swt. mengganti kerja
kerasku dengan keberhasilan dan aku telah berhasil membuktikan bahwa anak buruh
bangunan yang hidup dari uang hasil mengaduk semen juga bisa berprestasi,
asalkan ada keinginan dan kerja keras semua pasti akan tercapai.
No comments:
Post a Comment