Cerpen : IMPIANKU TELAH DI UJUNG JALAN

IMPIANKU TELAH DI UJUNG JALAN
KARYA YOSI ROSITA

Pagi ini terdengar jelas sekali ditelingaku suara kokokan ayam dan kicauan burung memaksaku untuk bangun. Mereka seperti tidak rela hari minggu ini ku habiskan untuk bermala-malas rasanya mata pun masih lengket terpejam.  Disisi lain ku dengar langkah kaki mendekat ke arah kamarku dan seseorang mendorong pintu.
"Paling mamah. " kataku dalam hati
   Tetapi tidak ada hasrat untukku bangun bahkan tidak ku hiraukan suara-suara itu. Kulanjutkan tidurku apalagi dengan udara dingin yang merasuki diri, itu adalah alasan yang cocok untuk tidur kembali diatas kasur kecil penuh dengan pulau impian yang selalu ku buat setiap malam.
"Teh... teh.. teteh... heh bangun bangun, ini hari minggu bantu mamah beres-beres. " ujar mamah sambil menggebrak kasur
"Masih ngantuk maaah... bentar lagi ya?" pintaku
"Gak bisa... sok bangun, bantu mamah!"
Kupaksakan untuk bangun dari tempat tidur bergegas mencuci muka dan membantu mamah.
      Beginilah hidupku,  namaku Dinda aku bersekolah di SMA Negeri di daerah Kuningan. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana tetapi sangat bahagia. Bapakku seorang buruh bangunan kerjanya sehari-hari hanya membuat batako di pabrik sekitar rumah walau begitu ia seorang pekerja keras, menurutnya hidup harus memiliki prinsip, prinsipnya adalah bekerja keras bisa membuahkan bahagia yang nyata. Mamahku seorang ibu rumah tangga yang sangat hebat, Penyayang, dan ia adalah wanita yang paling kuat karenanya aku dan adikku bisa ada di dunia ini tumbuh dengan penuh Kasih sayang. Si kecil Cira, adikku tersayang umurnya 8 tahun ia bersekolah disalah satu Sekolah Dasar Negeri.
       Setelah lelah ku bantu mamah.  Aku ingat hari ini sebuah koran yang memuat karya tulis anak bangsa terbit,  ku tunggu tukang koran mingguan yang sering lewat depan rumah dengan harapan semoga puisi karyaku bisa dimuat aku sudah tak sabar.
"Duuuh... kok tukang korannya gak muncul-muncul. " kataku mulai penasaran
 jelas mataku melihat di seberang jalan sana, seseorang mengayuh sepedah sdengan tas selendangnya ia menuju ke arah rumahku ternyata ia adalah tukang koran.
"Pucuk dicinta ulampun tiba, eh... " kataku dalam hati
"Mang... mang... ada koran yang terbit gak mang?" tanyaku
"Ada neng, bentar... nih neng koran terbaru. Baru saja terbit semenit yang lalu. "Tukang koran ketawa cekikikan
"Waduuuh... si mang bisa aja, semenit yang lalu mah si mang di seberang sana. " ucapku sambil ketawa
   Langsung ku buka koran itu, ku lihat satu persatu halamannya seketika itu rasa penasaranku terjawab sudah, halaaah.. Karyaku belum dimuat pikirku, kerja kerasku waktu yang aku korbankan apakah belum? Selalu ini pertanyaan yang terlintas dipikiranku.
"Kenapa teh? Kok lesu gitu? " tanya mamah.
"Gak mah,  teteh cuma kepikiran puisi-puisi teteh gak ada satupun yang dimuat. " jawabku dengan perasaan kecewa
"Teh... semua kan butuh proses dan siapa tau puisi teteh juga dimuat, ada saatnya kok sayang. "
"Apa ada proses yang kurang ya mah dalam pembuatannya? " tanyaku
"Mungkin teteh saat ini tinggal banyak berdo'a dan sabar. " jawab mamah sambil tersenyum
   Keesokan paginya di sekolah, ku temui dalam mading kelas ada pamflet tentang perlombaan dengan nama "Yang Muda Yang Berkarya" banyak perlombaan termasuk cipta dan baca puisi setelah itu ku baca lebih lanjut  sepertinya lomba ini diikuti banyak siswa se-jawa barat pelaksanaannya saja melibatkan banyak pihak,  yang membuatku ragu adalah lomba itu bertempat di Bandung. Aku hanya takut orang tuaku tidak mengizinkan. Perasaanku campur aduk belajar menjadi tidak fokus, hmm... info lomba tadi berhasil mengganggu pikiranku enyahlah kau, pikirku. Ditambah lagi rasa malu ketika aku dipanggil guru karena terus melamun tak memperhatikan pelajaran, teman-temanku langsung menyorotiku dengan ppandangan sinis seperti akan menggerogoti otakku, hmm..  menyeramkan pikirku.
    Bel pulang sekolah yang banyak ditunggu siswa akhirnya berbunyi menandakan akhir pembelajaran hari ini,  segera aku pulang kerumah tak sabar ingin membicarakan info lomba tadi dengan orang tuaku, setidaknya perlombaan ini bisa mengobati kekecewaan tentang puisiku yang belum juga dimuat.
    "Assalamualaikum... mah pak. " sapaku
    "Waalaikumsalam... " jawab mamah dan bapak bersamaan
    "Mah pak..  teteh pengen bicara soal hobi nih! "
    "Bicara aja sayang... " ujar bapak
    "Teteh kan suka puisi, dan 2 minggu lagi akan ada perlombaan, boleh teteh ikut?" tanya aku sambil memohon
    "Waaah...  itu kesempatan bagus teh,  boleh asal jangan lupa belajar! " ujar bapak
    "Tapi paaak... lombanya di Bandung. " ujarku sedikit mengeluh
    "jauh nak... Bapak terlalu cemas. " kata bapak dengan wajahnya yang lelah
    "Sudah teh, Kasih bapak waktu untuk istirahat, ceritanya besok lagi nak! " ujar mamah
    Ada hal yang aneh,  bapak seperti sedang memikirkan sesuatu atau mungkin karena lelah bekerja.
    Malam hari ketika sedang berkumpul di ruang tv aku mulai membuka obrolan.
    "Mah... bapak kenapa sih? Teteh lihat kayak ada masalah." tanyaku penasaran
    "bapak sedang pusing, dia diberhentikan sementara kerjanya karena stok batako masih penuh jadi bapak akan masuk nanti setelah semua stok mulai laku. "
    Aku tau sekarang pasti bapak sangat terpukul kehilangan pekerjaan untuk sementara.
    "Bapak maaf teteh gak tau. "
    "Gak apa-apa sayang... Jangan pikirkan bapak, kalian belajar yang rajin capai cita-cita kalian agar kalian bisa hidup lebih baik dari mamah dan bapak."
    Dalam keadaan seperti ini bapak masih selalu memberi nasihat senyumnya tak pernah terhapus rasa cape ataupun pusing. Setelah mengetahui semua itu harapanku sedikit aku urungkan, harapanku masih tersimpan pada koran mingguan bahkan mungkin harapan itu hampir membusuk.
    Setelah hari demi hari kutuliskan kekecewaanku dalam buku diaryku, aku hampir lupa sekarang adalah hari minggu,  harapan semu puisiku akan dimuat dan satu minggu menuju lomba yang aku impikan. Ku sempatkan tanganku untuk membuka pintu rumah dan melangkahkan kakiku keluar rumah untuk sekedar menunggu koran yang mengumbar harapan palsu. Dari kejauhan tukang koran melambai memberi tanda bahwa ada koran terbaru dan berhenti di depan rumahku.
    "Neng, ini seperti biasa korannya" ujarnya sambil memberi koran
    "Makasih mang! ini uangnya. " kataku
    Aku berlari masuk ke rumah dan segera membuka koran itu, tak ku lihat puisi ciptaanku yang ku lihat hanya tulisan permohonan maaf "kami segenap penyusun Koranku memohon maaf apabila apabila karya-karya pembaca ada yang belum dimuat, kami hanya akan memuat sebagian, terimakasih. "
    Kekecewaanku minggu kemarin seperti bersambung dan ini lanjutannya lebih menyakitkan.
    "Dengan alasan apa koran itu tak bisa memuat lagi? gak menghargai banget. " gerutuku sangat kesal
    "Heh...  teteh kenapa?" tanya mamah
    Aku langsung menghampiri mamah dan memeluknya.
    "Mamah... teteh sedih puisi teteh gak bisa di muat. "
    "Sabar ya sayang,  masih ada kesempatan lain." ujar mamah
    Dari hari itu rasa sedih selalu melengkapi hidupku, kesal menanti sesuatu dan hasilnya tak bersambutan. Untuk sekedar makan menyuapkan nasi satu biji pun aku tak napsu dari kemarin aku hanya banyak minum. Selama tiga hari aku sakit gara-gara koran itu, hanya bisa tertidur untung tulangku masih terhalang daging setidaknya ketika orang melihatku mereka tidak berkata bahwa aku kurang gizi. Meski mamah selalu menyediakan makanan tapi tak pernah aku merasa lapar aku sudah kenyang dengan janji-janji koran itu,  mamah dan bapak seperti cemas dengan keadaanku yang belum makan dan tak pernah keluar kamar, aku hanya bisa merenung meratapi nasibku.
    "Teteh jangan begini terus dong sayang,  ayo makan nak! Kesehatan kamu yang paling penting." kata mamah
    "Gimana kalau bapak Kasih izin kamu untuk ikut lomba di Bandung nanti hari minggu tapi kamu harus sembuh dulu ya, nak?” ujar bapak
“hah… bener nih pak?” tanyaku
“benar sayang, mamah juga setuju.” Kata mamah
“makasih ya mah pak?”
“sama-sama sayang.” Jawab mamah dan bapak bersamaan
Tiga hari aku sakit ternyata ada hikmahnya aku diizinkan mengikuti lomba di Bandung. Hari rabu ini, ku nobatkan sebagai hari bangkitnya aku dari keterpurukan habis gelap terbitlah terang seperti raden ajeng kartini, aku juga punya cita-cita yang mulia, bukan hanya orang kaya saja bahkan kebanyakan orang sukses karena kerja keras dan do’a aku yakin itu, pikirku.
Hari kamis aku mulai bersekolah bersama senyuman bahagia menebar tawa bersama teman-teman sepertinya teman-temanku sangat merindukanku mereka langsung menanyakan kabarku, saat ada waktu luang di kelas aku memilih untuk menulis puisi siapa kira dimasa depan aku bisa jadi sastrawan atau lainnya yang berhubungan dengan itu. Ada harapan dalam rencanaku kali ini semoga Allah memberikan jalan yang terbaik aku hanya ingin menyalurkan hobiku aku tidak ingin puisiku ini menjadi puisi kamar, yang mengetahui hanya aku saja. Bahkan teman-teman dan guruku pun mendukung aku disetiap karya-karyaku bimbingan dari mereka kritik dan saran dari mereka tak jauh hanya untuk membuat karyaku menjadi lebih baik, apalagi ketika mereka mendengar aku akan mengikuti lomba ini, jujur aku sangat bahagia berada di tengah orang-orang yang hebat. Pembelajaran hari ini sungguh menyenangkan, tetapi cepat berakhir aku langsung bergegas pulang menunggu jemputan bapak di depan sekolah.
“bapak, jemput aku ya? Di depan sekolah tempat seperti biasa aku menunggu setelah pulang sekolah.” Sore itu aku resah melihat langit berubah warna, kecerahan ditiup oleh awan hitam pekat sangat menakutkan, aku yang sejak tadi menunggu seorang diri tersentak teringat buku dalam tasku yang dalamnya berisi puisi-puisiku, duuuh… bukuku kataku dalam hati. Segera ku sembunyikan tasku dibalik kerudung dank u peluk erat agar tak basah, sesekali kulihat jam tanganku, bapak lama sekali pikirku, sudah sangat sore pikiranku sangat gelisah sambil k uterus melihat di ujung jalan sana tak ada seorangpun yang lewat.
Hujan mulai deras namun ayah sudah mulai terlihat dengan sepeda motornya yang perlahan melaju kearahku.
“tit…tit..tit…ayo naik, nak!” ajak bapak
Langsung ku naik motor dengan perasaan kesal karena bapak membuatku menunggu lama sekali membuatku basah kuyup, aku hanya takut puisiku luntur terguyur hujan.
Sesampainya di rumah, aku langsung merapihkan bukuku dan penampilanku yang berantakan basah kuyup.
“teh…makan dulu,nak! Nanti kamu sakit lagi.” Ujar mamah
“iya mah, sebentar lagi aku sedang membereskan puisiku untuk lomba nanti.”
“oh iya teh, semangat ya? Lomba itu tinggal 2 hari lagi kan?.” Tanya mamah
“iya mah do’akan ya mah?”
“pasti sayang kamu selalu ada dalam do’a mamah”
“mamah kalau cira ada di do’a mamah?” Tanya cira
“ada atuh sayang, cira juga kan anak mamah kebahagiaan mamah. Orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya” jawab mamah sambil tersenyum
“mamah… teteh mau ikut lomba apa sih?” Tanya cira
“mau ikut lomba puisi di Bandung.”
“cira juga mau, ada lomba mewarnai gak?”
“gak ada cira lagian ini untuk siswa SMA, cirakan masih kecil nanti kalau cira udah besar cira juga harus seperti teteh.”
“aku mau jadi pewarna aaah…” kata cira
“gak ada pewarna adanya juga pelukis, sayang… kamu ini lucu” jawabku sambil tertawa
“oh gitu cira gak tau.”
Aku tidak pernah kesepian, ada adikku cira yang bisa membuatku tersenyum dengan tingkah lucunya, apalagi pipinya yang tembem membuatnya beda dengan yang lain, setidaknya aku lebih merasa tenang agar dilomba nanti aku tidak terlalu grogi. Bilang soal grogi semoga nanti disana saat interview aku bisa menjawab pertanyaan dengan baik.
Setiap saat aku selalu memanjatkan do’a, Alhamdulillah karena hal ini aku bisa lebih mengerti arti beribadah. Aku sering mendengar bahwa Allah swt. Akan mendekati hamba-Nya jika manusia melangkah satu kali pasti Allah akan melangkah mendekati kita 10 kali. Aku selalu meminta kemudahan dalam perlombaan nanti.
“mah… do’a itu ajaib ya mah?” tanyaku
“do’a itu penyejuk hati dengan berdo’a seseorang diajarkan agar tidak sombong.”
“hmmm… seperti itu.”
“ nanti kalau kamu mau lomba jangan lewatkan untuk berdo’a.” saran mamah
“iya mah…pasti.” jawabku sambil tersenyum
Besok adalah hari jum’at, memang waktu ketika ditunggu pasti akan terasa lama. Tapi persiapan untuk lomba sudah matang, aku tinggal menunggu hari minggu.upss…aku harus berangkat sekolah, pikirku.
“maaah… pak… teteh berangkat ya?”
“iya nak hati-hati.”
Setelah memberi salam aku berangkat ke sekolah, aku berjalan menuju sekolah lumayan jarak ke sekolah tidak terlalu jauh karena kondisiku sudah membaik dengan lega mamah mengizinkanku berjalan kaki ke sekolah. Tak terasa sudah sampai di sekolah, aku bertemu dengan teman-temanku kami bersama-sama memasuki kelas dengan canda dan tawa. Pelajaran pertama sudah dimulai dan aku bisa focus belajar karena sudah tidak ada kekhawatiran lagi tentang lomba. Pelajaran demi pelajaran terasa cepat, kini sudah saatnya untuk pulang tapi sebelum pulang aku ingin meminjam buku dari perpustakaan seperti biasa aku ingin meminjam buku tentang puisi, untuk ku jadikan pembelajaran. Selain menulis aku juga punya hobi membaca buku, aku yakin dengan buku bisa membuka masa depan yang cerah, hehehe.. ujarku dalam hati.
“maaah… assalamualaikum teteh pulang.”
“waalaikumsalam.. eh teteh cepet beres-beres terus makan sayang…”
“oke maaah…” kataku
Setelah aku makan ku lanjutkan aktivitasku untuk mengetik puisiku dan akan ku print semoga juri suka terhadap puisiku. Besok sabtu aku akan berangkat ke Bandung  bersama bapak tak sabar rasanya berangkat ke kota bandung selain untuk lomba aku berharap bisa melihat indahnya kota bandung.
“teteh cepet tidur nak! Besok kamu kan mau berangkat ke bandung.” Ujar mamah
“iya maaah…” kataku
Bergegas aku menuju tempat tidur mengukir mimpi indah di atas bantalku.
 Malam berganti menjadi pagi, suara berisik mamah yang sedang mempersiapkan kebutuhanku membangunkan aku dari tidurku. huffft… untung tidak kesiangan, pikirku.
“teteh.. cepet siap-siap,nak!” ujar mamah
“iya mah…”
“teteh jangan lupa bawa peralatan tulisnya.”
“ya maaah.”
Pagi jam 9 ini aku dan bapak beres-beres dibantu mamah. Bisa dibilang sibuk bahkan karena sibuk mamah lupa sama cira yang akan sekolah.
“mah itu cira mamah lupa cira harus sekolah” kata bapak
“oh iya pak… duuuh”
“teteh, mah, pak… cira berangkat ya? Teteh jangan lupa bawa oleh-oleh ya?” kata cira
“iya cira belajar yang pinter ya sayang, nanti teteh bawa oleh-oleh buat cira sama mamah.”ujarku meyakinkan cira
Adikku yang lucu sudah tumbuh dengan baik melihatnya aku ingat masa kecilku tak terasa aku sudah sebesar ini aku akan selalu mengingat masa kecil dimana aku belum merasa seribet ini tetapi menjadi orang dewasa juga menyenangkan dan itu semua bagaimana kita menjalani semuanya, memang flashback itu hal yang menyenangkan bagi sebagian orang termasuk diriku.
Hari yang kunanti sudah tiba, saatnya aku berangkat setelah mempersiapkan semuanya termasuk mental.tak lepas dari harapanku semoga perjalanan ini berbuah manis. Terasa sedih memang akan meninggalkan mamah dan cira berdua saja di rumah walaupun hanya sehari.
Ketika menaiki bus berat rasanya tak bisa aku jauh dari mamah dan cira, ku lambaikan tanganku pada mamah yang masih melihat kea rah bus. Dalam bus ku pilih tempat duduk kedua, sedikit demi sedikit bus mulai melaju menurut bapak kita akan sampai Bandung 6 jam kalau tidak macet, tapi kalau macet sekitar 7 jam.sengaja bapak memilih hari rabu agar setelah nyampe disana aku masih mempunyai waktu istirahat. Kebetulan di Bandung ada saudaraku tanpa harus khawatir aku dan bapak bisa menginap disana untuk sementara waktu.
Diperjalanan selain kendaraan yang macet dan orang yang berlalu lalang aku juga bisa lihat sesekali hamparan sawah yang tumbuh subur mataku tak bisa ku alihkan dari pemandangan ini, di samping kanan dan kiri tampak pohon-pohon tinggi dan bunga-bunga juga tumbuh diantaranya bunga terompet yang mekar dengan elok. Kebun teh hijau merata seperti ditata dengan rapih dan tak ada yang lebih mengkhawatirkan adalah ku lihat bekas kebakaran hutan terlihat jelas dengan warna hitam entah karena apa, menurutku ini semua berkaitan dengan bagaimana cara manusia dalam bersyukur atas apa yg telah Allah ciptakan, mungkin bagi mereka yang berbuat kerusakan belum mengerti manfaat hutan bagi kehidupan makhluk hidup.
“pak, lihat itu! Bagus ya?” ujarku sambil menunjuk kearah bunga terompet
“iya sayang…”
“istirahatlah,nak! Akan bapak bangunkan kalau sudah sampai”
“iya pak aku juga sudah ngantuk gak kerasa sudah  jam 2” jawabku
aku beristirahat sementara bapak masih melihat jalan takut bus melewati tempat tujuan.
“teh..teh… bangun ini udah nyampe, ayo kita turun!” ajak bapak
“eh… iya pak duuuh.” Jawabku kaget
Aku dan bapak segera turun dari bus dan mencari alamat rumah saudaraku, setelah bertanya kepada orang aku dan bapak tidak kunjung menemui alamatnya bahkan kami merasa semakin jauh dari tempat kami turun tadi, sepertinya orang tdi sengaja menunjukan alamat yang salah. Ku telepon saudaraku itu, dia bilang akan menjemput dia hanya berpesan jangan kemana-mana dulu. Aku dan bapak  mulai menunggu lama tak kunjung muncul. Hmmm…dimana dia, gerutuku dalam hati. Ada seseorang yang menghampiri dan ternyata dia adalah saudaraku, aku dan bapak langsung diajaknya untuk makan terlebih dahulu setelah itu segera menuju ke rumah saudaraku untuk menginap sekitar satu malam selama di Bandung. Perjalanan yang melelahkan, aku langsung beristirahat setelah perjalanan yang cukup panjang tadi.
Kali ini bukan suara kicauan burung tapi suara ramai kendaraan membangunkanku, aku bergegas bersiap-siap untuk ke tempat perlombaan menurut saudaraku tempat itu tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sekitar jam 7 pagi saat perjalanan menuju tempat lomba terlihat embun tebal menyelimuti kota ini pohon-pohon dan gedung-gedung tinggi terhalang kabut, ditambahkan lagi udara pagi yang sangat dingin menyambut pagiku di Bandung.
“Alhamdulillah… sampe teh.” Ucap bapak
“iya… pak, ayo kita masuk ke gedungnya! Teteh akan mengambil nomer urut.”
Perlahan tapi pasti dengan penuh percaya diri ku masuk ke gedung itu kulihat banyak peserta berdatangan. Rasa grogi yang berhasil aku timbul muncul kembali setelah melihat semua ini, aku harus yakin ini semata-mata untuk mengasah kemampuanku. Setelah lama menunggu nomer urut akhirnya aku mendapatkannya aku dapat nomer urut ke 27 dari 50 peserta interview cipta puisi.
“yang tenang ya teh?” ujar bapak mencoba menenangkanku
“bismillah teteh minta do’anya ya pak? Semoga lancar”
“aamiiin.. pasti teh.”
Beberapa peserta telah melakukan interview sekarang adalah giliranku untuk masuk ke ruangan interview pertanyaan seputar puisi yang aku ciptakan terus dilontarkan walaupun sedikit grogi tetapi aku mulai bisa menenangkan diriku sendiri sehingga aku bisa menjawab semua pertanyaan itu. Juri mempersilahkanku untuk meninggalkan ruangan dan sepertinya mereka sedang mendiskusikan hasil interviewku tadi, aku hanya bisa berdo’a semoga hasilnya bagus.
Jam 5 sore, pengumuman perlombaan mulai dibacakan aku mulai tak sabar mendengarnya sekaligus penasaran siapa kira-kira yang akan mendapatkan juara. Pembacaan juara pertama telah dibacakan ternyata bukan aku tetapi masih orang Bandungnya, aku jadi lebih merasa deg-degan ketika pembacaan juara 2 dan ternyata bukan namaku yang pembawa acara sebut, dari situ aku mulai merasa pesimis.
“pak.. mending kita pulang saja yu!”ajakku
“jangan pesimis gitu the gak baik, sebentar ini penyebutan juara 3” kata bapak
“oke…” jawabku cemberut
Dan taraaa… dalam hatiku berucap, pasti bukan aku. Juara ke tiga adalah pemenang berasal dari kuningan kata pembawa acara tapi aku takut itu bukan aku mungkin ada orang kuningan yang mengikuti lomba ini selain aku, dan setelah pembawa acara menyebutkan namaku sebagai pemenangnya aku merasa kaget rasanya tidak sadarkan diri. Sujud syukur ku panjatkan kepada Allah swt. dan terimakasih atas dukungan keluarga, teman-teman, dan guruku di sekolah.
“pak.. terimakasih atas dukungannya aku bisa menjadi juara.” Ujarku terharu
“sama-sama, kamu hebat,nak!” ujar bapak
Karunia Allah swt. Memang indah. Aku dan bapak sore itu pulang kembali ke kuningan aku persembahkan kemenangan ini untuk mamahku tersayang dan cira adikku yang lucu, seperti lengkap perjalananku ke bandung mendapat pengalaman yang tak terlupakan dan dapat melihat keindahan alam yang memanjakan mata.

Aku yakin ini semua jawaban dari do’aku selama ini, Allah swt. mengganti kerja kerasku dengan keberhasilan dan aku telah berhasil membuktikan bahwa anak buruh bangunan yang hidup dari uang hasil mengaduk semen juga bisa berprestasi, asalkan ada keinginan dan kerja keras semua pasti akan tercapai. 

No comments:

Post a Comment